GMNI: Sertifikat Tanah Elektronik Lukai Hati Rakyat

Ketua DPP GMNI Bidang Jaringan Buruh, Tani, dan Nelayan, Marianus Rawa Tamba. (Foto: Istimewa)

“Kebijakan ini tentu sangat kontraproduktif dilihat dari kondisi pembangunan SDM dan infrastruktur penunjang di Indonesia”

KABAROPOSISI.NET|Jakarta, – Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) menyatakan, disela kesibukan masyarakat dan pemerintah serta seluruh elemen bangsa yang sedang bahu membahu mencari jalan keluar untuk memperbaiki ekonomi bangsa ditengah pandemi Covid19, malah ada pihak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Pihak itu adalah Menteri ATR/BPN yang mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik.

Bacaan Lainnya

Isi dari peraturan menteri ini adalah mewajibkan rakyat Indonesia melakukan pendaftaran sertifikat tanah dan kepemilikan sertifikat tanah secara elektronik. Bagi rakyat yang sudah memiliki sertifikat tanah dalam bentuk kertas akan ditarik kembali oleh kementrian ATR/BPN, jadi sertifikat yang dimiliki oleh rakyat adalah sertifikat elektronik.

Ketua DPP GMNI Bidang Jaringan Buruh, Tani, dan Nelayan, Marianus Rawa Tamba menilai bahwa isi peraturan tersebut akan menyulitkan masyarakat. Ia berasumsi bahwa aturan ini bisa jadi adalah upaya sistematis pemerintah untuk mengambil alih hak rakyat.

Sistem E Sertifikat

“Kebijakan ini tentu sangat kontraproduktif dilihat dari kondisi pembangunan SDM dan infrastruktur penunjang di Indonesia yang masih tidak merata. Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak paham sistem elektronik, ditambah lagi masih banyak masyarakat yang masih gagap teknologi (gaptek). Jika dilanjutkan, akan rentan terjadi penyelewengan terhadap hak rakyat, khususnya bagi masyarakat yang kurang paham teknologi”, terang pria yang akrab disapa Ari ini. 

Ari menambahkan, masih banyak wilayah Indonesia yang masuk kategori daerah tertinggal, terluar dan terbelakang yang mengakibatkan akses informasi sangat terbatas. Akibat tidak konsistennya pemerintah dalam mengurus pesoalan rakyat, terjadi ketimpangan yang ditunjukkan dengan penguasaan lahan petani sekitar 0,5 hektar dari total 15,8 Juta rumah tangga, sementara sektor perkebunan sawit menguasai 16,3 juta hektar tanah dari 500 perusahaan.

“Rakyat Indonesia sudah menunggu sekitar 60 tahun lebih agar hak atas tanah sesuai Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 60 segera dipenuhi, tapi nyatanya sampai dewasa ini masih jauh dari harapan. Saat ini yang diperlukan masyarakat adalah keseriusan pemerintah untuk meneruskan kebijakan pemerataan kepemilikan hak atas tanah, bukan menambah rumit persoalan”, tegas Ari.

Menurut Ari disaat situasi masyarakat Indonesia yang sedang terpuruk seperti saat ini, seharusnya pemerintah fokus pada  pemberian bantuan dan kemudahan akses bagi masyarakat bukan membuat aturan baru yang justru mempersulit rakyat.

“Menurut saya, Peraturan Menteri ATR/BPN  Nomor 1 Tahun 2021 tersebut harus dikaji ulang dan bila perlu dibatalkan karena hanya mempersulit akses bagi masyarakat untuk mendapatkan hak mereka atas tanah. Pemerintah seharusnya fokus pada penyelesaian isu ketimpangan kepemilikan lahan yang saat ini masih jomplang dan dikuasai korporasi besar. Bila pemerintah masih bersikukuh tetap melanjutkan kebijakan tersebut, pemerintah harus lebih dahulu mempersiapkan kualitas SDM masyarakat serta infrakstruktur yang memadai agar kebijakan tersebut tidak menjadi beban bagi masyarakat”, pungkasnya. (red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *